ortu, tanya deh sama guru: apa yang dinilai dari anak saya?

“siapa yang tahu obrolan warung kopi bisa mengarah ke mana,” begitu pepatah yang pernah saya baca di salah satu warkop. mungkin itu salah satu sebab mengapa saya suka ketemuan sama teman-teman di warung kopi, terutama dengan teman lama yang tidak direncanakan persis hal apa yang akan kita bicarakan saat ketemuan.

setelah mug kopi kami masing-masing sudah hampir kosong, teman saya mulai curhat tentang salah satu anaknya yang duduk di kelas 6 SD, si Abang yang hobinya ngulik-ngulik komputer, handphone, dan bongkar pasang komponen radio.

Di sekolah, si Abang mulai mengadapi banyak ujian-ujian menjelang akhir “masa bakti”nya di SD menuju SMP, dan salah satunya adalah ujian lisan bahasa inggris. Teman saya cerita bahwa guru bahasa Inggris si Abang mewajibkan anak untuk menghafalkan cerita rakyat indonesia dalam bahasa Inggris, kemudian menceritakan kembali (bukan dengan bahasa si anak melainkan hapalannya, karena si guru akan membaca teks asli untuk menilai anak) di depan kelas dan dinilai.

Abang adalah anak yang luar biasa jago urusan kabel, skrup, solder menyolder, dan mensetting komputer di rumahnya, benci setengah mati  dengan public speaking dan hapalan. sang ibu, yang adalah teman saya ngopi, meneruskan curhatnya:

“Gue bujuk-bujuk lah si Abang untuk mau ngapalin dikiiit aja. waktu itu ceritanya bukan cerita rakyat Indonesia karena gue pikir ngga ada masalah. eh… udah susah-susah bujuk si abang, tau-tau si abang ngga boleh ambil nilai karena bukan cerita rakyat Indonesia. jadilah si abang pulang ngomel-ngomel. sekarang dia ngga mau masuk sekolah, nis…”

“harusnya ditanya dong gurunya: apa sebenarnya yang mau Ibu nilai dari anak saya; apakah kemampuan menghapal-nya? pemahamannya tentang cerita rakyat indonesia? atau kemampuan english speaking nya? public speaking-nya? yang mana? jelas ngga?”

ortu,

terus terang isu tentang penilaian anak-anak anda adalah isu yang penting dan sering dianggap orangtua sebagai seuatu yang menjadi privilage sekolah, yang tidak boleh diganggu gugat oleh ortu. sehingga tidak cuma siswa, tetapi juga ortu, merasa bahwa mereka harus nurut begitu saja dengan apa dan bagaimana penialian/ujian/evaluasi/tes/… dilakukan. dan itu adalah asumsi yang keliru, parents. sebagai stakeholder, anda berhak untuk bertanya, memberi masukan, dan meminta kebijakan sekolah untuk tidak memperlakukan anak secara pukul rata. sebab konsep “adil” itu bukan sama rata – sama rasa, kan?

akhirnya saya “memprovokasi” teman saya itu:

“Miss, mustinya lo mulai tanya aja sama guru Bahasa Inggris si abang, apa yang mau dia nilai sebenarnya. gue rasa sih tugas dia sebagai guru bahasa inggris bukan ngajar tentang cerita rakyat ya. dugaan gue sih si guru mau nilai kemampuan pronunciation atau kemampuan dia public speaking kali ya. nah kalau gitu, kenapa musti maksa cerita rakyat indonesia? kenapa ngga disuruh aja si abang pilih topik. misalnya dia presentasi tentang arus listrik, atau cerita tentang program komputer yang baru dipelajarinya. kenapa harus buku? kenapa harus cerita rakyat? kenapa harus ngapal?”

Leave a Comment