kurva normal & prestasi pendidikan indonesia

kemarin sahabat saya berkomentar ketika kami membahas soal pendidikan: “Nis, sebenarnya prestasi pendidikan indonesia itu ngga jelek, loh. Coba liat aja di olimpiade2 sains dan matematika, berapa medali yang udah pernah ‘kita’ sabet…”

“kita?! mereka, kalee…” potong saya brutal sambil nyeruput ice coffee di hadapan saya.

“ya kamu ngerti lah, maksud aku ya ‘Indonesia’ …”

hmm…saya tidak setuju dengan sahabat saya ini. dan kami menghabiskan sekitar 30 menit untuk membahas tentang isu ini. lama amat? ya maklum, kami rada-rada susah nge-recall ingatan kami tentang distribusi normal yang dipelajari masa kuliah dulu. apa hubungannya? jelas sekali ada. fenomena jawara olimpiade dengan pendidikan indonesia secara umum adalah salah satu contoh riil aplikasi distribusi  normal.

“kan distribusi normal itu dipake’ waktu kita belajar statistik parametrik ya Cun,… sistem yang dipake untuk jelasin karakter populasi, dalam hal ini adalah indonesia yang pelajarnya ada jutaan…”

“puluhan juta kali… apa ratusan… gitu deh pokonya banyak,” timpal Acun ringan.

“Kamu inget kurva normal kan? kurva yang menggambarkan fenomena di populasi. yang ngasih liat bahwa kalo kecerdasan orang dibagi 5, pinter banget, pinter, sedeng, bego dan bego banget…”

“pasti populasi orang yang banget-banget itu lebih kecil daripada yang sedeng-sedeng aja… 68% yang normal ya, Nis.. dan yang pake ‘banget’ tadi paling masing2 cuma belasan persen…”

“Ngga nyampe Cun. Yang pinter banget ada 2.15% dan yang bodoh banget ada 2.15% juga…  makanya aku protes kamu: ‘kita?! mereka kalee’… karena mereka cuma sebagian kecil banget dari pelajar indonesia secara keseluruhan, yang dipilih, dan digodok sama Yohanes Surya (Maaf kalau salah mengeja nama).”

“Aku ngerti maksud kamu, nis. jadi mereka yang jawara ini bukan dari 95% pelajar indonesia yang masuk dalam wilayah mayoritas? i see, soalnya jawara-jawara itu dipilihnya juga kan ngga random ya, Nis!” Acun manggut-manggut lucu ^^.

“cun, inget kan waktu kita belajar prinsip2 bikin kesimpulan nerima atau nolak hipotesis…”

“yep, ketika kita bicara menerima atau menolak hipotesis, kita bicara tentang general phenomena, yang ada di dalam wilayah umum (general), yang 95% itu. bukan yang di wilayah ‘exceptional‘ atau minoritas yang pake’ ‘banget’2 itu.”

“jadi ga relevan dong kalo kita ngambil kesimpulan pendidikan indonesia berkualitas karena sudah dibuktikan di olimpiade?”

Acun setuju, “soalnya dua fenomena itu berada di wilayah yang berbeda. kecuali kalo TIMSS ya Nis, mereka kan survey gitu…”

*TIMSS adalah kajian yang dilakukan lembaga independen untuk negara2 yang bersedia. tahun 2003, pendidikan matematika dan sains indonesia berada di urutan 34 dari 40 negara peserta. sementara singapura nomer 1 dan malaysia nomer 11.

“lagian, mereka pasti emang gen-nya bagus ya cun. emang intelligent…” timpal saya rileks bin sirik ^^

Acun mengubah posisi duduknya, giliran dia yang komentar penuh antusias, “Nis, aku rasa anak-anak itu bukan sekedar intelligence, tapi juga good thinker!…”

dan seterusnya topik kami beralih ke buku Edward de Bono yang telah dilalap Acun, tentang mengajarkan anak-anak berfikir. sementara dua gelas di meja kecil di hadapan kami, yang semula berisi es kopi sudah kosong.

teori yang menjelaskan kelayakan untuk menerima / menolak hipotesis untuk statistik parametrik
teori yang menjelaskan kelayakan untuk menerima / menolak hipotesis untuk statistik parametrik

Leave a Comment