Nyontek? … (dulu) sih ga malu :P

Membaca notes seorang teman membuat saya teregelitik untuk menuliskan cerita masa SMA dulu (hihi, nostalgia nii), ketika menyontek adalah fenomena yang kompleks, yang terlalu disederhanakan oleh kalangan guru: “kamu ngga belajar…” atau “kamu malas…” atau “kamu ngga siap? kenapa ngga nanya?”

hmmm, saya jadi perlu sedikit bercerita bahwa dari umur 4 tahun saya sudah ‘terlibat’ dalam dunia olahraga prestasi. Dan sejak usia dini itulah saya belajar tentang “sportivitas” dan “curang”. bahwa kalau saya sudah latihan dan masih kalah juga, saya belajar menerima kenyataan bahwa lawan saya lebih hebat. dan kalau lawan saya mengaku berusia 8 tahun (supaya bisa berlomba di kelompok umur “under 10”) padahal sebenarnya dia 10 tahun, maka dia curang. dan menyebalkan sekali dikalahkan oleh orang curang.

maka saya belajar untuk membenci kecurangan.

tapi ya itu tadi, terlalu menyederhanakan fenomena apabila Anda yang mungkin guru atau orangtua, menganggap bahwa menyontek = curang = merugikan orang lain. buat remaja, paling tidak yang saya rasakan ketika remaja dulu, menyontek adalah budaya yang kalau tidak menyertakan diri dalam budaya tersebut, maka tersisihlah saya.

Bukan, bukan tersisih secara nilai. tapi lebih menyakitkan lagi dari sekedar dapat nilai 3 atau 4: tersisih dalam pergaulan. saya akan jadi “nerd” yang “ngga asik”. Kalau saya tidak mau membagi-bagi jawaban saya kepada teman yang lain, waaaah… urusannya bisa mimpi buruk tiga tahun di bangku sekolah. Begitu juga kalau saya tidak kompak membuat contekan yang sudah disepakati bersama: “Nisa, elo sub-bab satu, dan si B bikin sub-bab dua…”

Alhasil… Kurva “malas belajar” saya mencapai puncaknya ketika saya berada di SMA. dan ayah saya yang sangat demokratis pun sering menjadi lawan debat saya: “ngapain aku belajar, Pah. kalau hasilku bisa sama dengan teman-temanku yang nyontek. dan aku ngga nikmatin jadi ‘provider’ contekan, jadi mendingan aku ikutan nyontek.”

Sebutlah saya anak yang takut ngga eksis waktu SMA dulu, maka Anda benar. saya terlalu sibuk bergaul di dunia olahraga saat itu. serius sekali saya mengejar prestasi. sampai tidak ada waktu (dan minat) untuk ikutan nongkrong dan jalan bareng pulang sekolah (padahal mall di depan gerbang sekolah). saya baru hafal nama teman-teman sekelas setelah 3 bulan, karena di awal tahun ajaran saya harus izin satu bulan untuk kompetisi olahraga. saya jarang masuk sekolah hari jumat karena latihan (pagi – sore)… jadi, cukuplah ke-kuper-an saya, tidak perlu ditambahkan lagi dengan: kuper karena ga mau kompak nyontek bareng.

saya benci banyak hal di SMA, dan semuanya, setelah saya ingat-ingat lagi, semuanya berkaitan dengan sistem. guru saya ngasih les untuk anak-anak secara privat. dan mereka yang ikut les, akan dapat soal ulangan duluan. dan mereka akan (wajib) bagi-bagi buat yang lain. guru saya bikin soal terlalu mudah. semuanya bisa dicari di buku, jawabannya. jadi nyontek di buku aja bisa dapat sepuluh. guru saya yang lain, kasih soal ulangan terus keluar. Damn! ngapain belajar kan?!

dan akhirnya Allah menyelamatkan saya dengan jalan memberikan rejeki, pengganti kulit saya yang terbakar dan otot saya yang sering kaku: saya dapat jalur khusus ke universitas negri, jalur atlit istilahnya. di universitaslah saya mengalami pelonjakan semangat belajar yang luar biasa. susah banget nyontek! dan bahagia karena ngga ada yang bisa menuntut contekan. apalagi kalau kuliahnya bukan kuliah umum. mahasiswa sedikit, pengawas ujian bersungguh-sungguh (malah saya sempat menuduh, kayanya insentif pengawas ujian akan ditambah kalo bisa nangkep mahasiswa nyontek), maka saya jadi yakin: kali ini saya belajar ngga akan sia-sia. kali ini teman-teman saya bisa menerima saya apa adanya: benci nyontek.

nilai saya ngga selalu bagus waktu kuliah. sempet bikin ayah saya asem mukanya, gara-gara mau ujian malah bertualang naik motor ke Bromo *missmydadsomuch* dan membuat saya gagal lulus mata kuliah itu. tapi saya ngga kecil hati, saya malah jadi bisa ngerti, bahwa nilai-nilai itu, yang terpampang dan menjadi penentu kelulusan itu, adalah cermin buat saya; cermin yang tidak pernah saya temui selama di SMA

5 Comments

  1. hai Ibu cantik.. :)

    well, sharing juga ya Bu? :D

    ketika saya masih SMP, saya pernah jadi seseorang yang menganggap mencotek lebih kejam daripada membunuh (ehm lebay), namun entah mengapa saya tidak merasakan predikat ‘hei-dia-orang-pintar-jangan-kasih-dia-contekan-karna-dia-pelit’.. :)

    pada masa itu, teman-teman saya mampu menerima dan tetap berteman dengan saya seperti biasa..hidup saya pun berjalan normal apa adanya..

    namun, ketika saya di SMA juga ada hal-hal seperti yang Ibu (hampir) rasakan. sebut saja teman saya si Y, dia adalah tipikal ‘cewe-pintar-berkacamata-dengan-mata-merah-karena-belajar-sampai-larut-malam’, hehee

    nah, si Y ini adalah anak ‘nerd’ dalam dunia percontekan, dia SAMA SEKALI ga mau nengok ketika dipanggil ketika ujian, ga pernah bales sms minta jawaban atau ga pernah dengan sengaja mempertontonkan lembar jawabannya seperti yang ‘normal’ dilakukan anak-anak lain.. (ketahuan deh trik-trik saya :D)

    nah, respon yang dia terima pada saat itu cukup parah, tidak hanya dianggap nerd namun juga dia dijahili di sekolah, puncaknya dia pernah dijahili sampai dia menangis (saya ga ikutan loh Bu..suer dehh) dan dia pun menjadi siswa ‘normal’ seperti saya dan teman-teman lain

    nah,dari curhatan saya ini Bu, benar engga sih jika saya menggangap hal-hal ini bergantung pada culture siswa-siswa dari sekolahnya? karena ya itu dia tadi, apa yang terjadi di SMP dan SMA saya berbeda.. :)

    1. nisa felicia faridz says:

      menurut saya kamu sangat pemberani karena menentang arus ‘nyontek’ :)

      jelas culture akan memperlakukan individu secara berbeda. kalau di sekolah yang memang culturenya pembelajar, saya yakin justru orang2 yang anti nyontek sangat dihargai.
      tetapi sebagai calon guru, saya ingin Jo juga kritis menanggapi fenomena ini. reflektif dalam menilai budaya ini, jangan2 emang gurunya, tipe soalnya, sistem belajarnya, yang support budaya nyontek??

  2. diyah laily says:

    Cerita ibu waktu SMA dulu ternyata tidak beda jauh dengan pengalaman saya. Dan saya pun masuk dalam anak yang membenci budaya contek tsb (alias lebih baik memilih didiemin teman/gag disukai teman dulu sementara). Alhamdulillah, ternyata teman2 saya tidak selamanya “tidak menyukai” saya.Tidak lebih dari seminggu pun mereka menerima bagaimana karakter dan sikap saya apa adanya. Jadi kalo ada acara nyontek mereka bilang “gag perlu ngajak dyah, gag bakal ngaruh”. hehe

    meskipun menurut banyak orang mencontek merupakan hal yang biasa dan kecil, pada waktu itu, saya berpikir mencontek adalah hal yang serius membahakannya. Saya sempat membayangkan, di bangku sekolah saja siswa sudah biasa untuk mengambil/merampas/bisa saya katakan mencuri ide teman yang lain (krn biasanya ada teman yang gag sadar klo lg dicontek/ada yang gag terima untuk ngasih contekan alias terpaksa). Di lain kata, saya sempat juga mengait-ngaitkan, jadi, bukankah mencontek pun tidak jauh beda dengan korupsi?? cuma konteks pelaku dan materi yang diambil saja yang berbeda,,
    bagaimana menurut ibu???

    1. nisa felicia faridz says:

      hai diyah :)

      kamu sangat pemberani. sementara saya takut tidak punya teman :)
      walaupun pada akhirnya saya menyadari bahwa teman sejati saya adalah orang2 yang tidak peduli seberapa sering saya kasih contekan, tapi saat itu saya tidak cukup dewasa untuk berpikir demikian.

      diyah nanti kalau jadi guru harus encourage students-nya untuk percaya diri bahwa mereka tidak perlu nyontek ya :)

      1. diyah laily says:

        Terima kasih atas nasihat ibu Nisa :-)
        Smoga jg budaya nyontek uda out of date dan gag dipakai lg oleh murid2 masa depan..
        :-)

Leave a Comment